Guru Penggerak dan Pengembangan Karier Guru

Sumber gambar:ilmiahku.com

Pendidikan di Indonesia saat ini berada dalam dua jalur, yaitu Kurikulum 2013 dan Merdeka Belajar. Kedua jalur ini berjalan beriringan dan diharapkan dapat mewujudkan sebuah proses pembelajaran yang berkualitas dan berpihak kepada peserta didik. Di setiap tingkatan, mulai dasar, menengah, dan pendidikan tinggi berjibaku dalam sebuah proses “melahirkan mutu” dan “mewujudkan generasi” yang berkualitas dan berkompeten. Gerakan pembaharuan dalam dunia pendidikan kita saat ini seolah terjadi proses yang instan dan tidak konsisten. Supeno Hadi (1999) menyatakan bahwa hampir semua kebijakan pendidikan yang terlahir  tidak memiliki kesinambungan konsep. Kesan umum bahwa ganti pejabat ganti kebijakan memang fakta. Akibatnya, gagasan yang satu sedang diterapkan dan belum dirasakan hasilnya (apalagi dievaluasi), terlahir lagi gagasan yang menindih gagasan yang mendahuluinya. Terjadi tumpang tindih kebijakan. Akhirnya selalu muncul pertanyaan klasik, apakah sebenarnya sistem pendidikan nasional sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa kita?

Kelahiran konsep merdeka  belajar dalam semua jenjang pendidikan seolah mengindikasikan bahwa proses yang terjadi selama ini belum menerapkan pembelajaran yang berorientasi dunia nyata yang saat ini identik dengan dunia industri seperti di negara maju lainnya. Program “Merdeka Belajar”  saat ini seolah difokuskan di dunia industri dan teknologi seperti sistem pendidikan di Eropa atau Amerika. Proses “Merdeka Belajar” kurang melirik potensi yang ada di desa. Padahal kita adalah negara agraris yang secara umum 80% rakyat Indonesia hidup di pedesaan. Wilayahnya pun berupa desa-desa dengan karakteristik yang beraneka ragam. Kekhasan ini idealnya kita pertahankan sebagai ciri unik dari Indonesia. Ki Sarino menyebut  sebagai pendidikan kedesaan. Program “Merdeka Belajar” yang diterapkan di jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi mestinya tetap disesuaikan dengan kondisi kewilayahan dari sekolah tersebut.

Di tingkat pendidikan dasar dan menengah dalam era Merdeka Belajar saat ini terlahir istilah yang baru yang identik dengan konsep  Merdeka Belajar. Misalnya, sekolah penggerak dan guru penggerak. Saat ini di tingkat pendidikan tinggi terlahir Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dengan pengembangan kurikulum berbasis atau mengacu pada KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Hal yang terbaru  dalam pendidikan tinggi saat ini terlahir lagi sebuah pengembangan kurikulum yang dinamakan dengan OBE (Outcome-Based Education). Kelahiran OBE berdasarkan pada tantangan abad 21 yang menginginkan proses yang terjadi dalam pendidikan tinggi berdasarkan pada kebutuhan dengan dunia nyata secara global. 

Salah satu yang menarik dalam program merdeka belajar yang sedang gencar dilaksanakan saat inilah program “Guru Penggerak”. Program ini dinyatakan sebagai sebuah program yang mendobrak kebiasaan guru selama ini. Program yang akan melahirkan proses pembelajaran yang berorientasi pada kemerdekaan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Guru yang terampil dalam menerapkan berbagai metode pembelajaran yang berbasis IT. Prosesnya pun tidak tanggung-tanggung yakni selama sembilan bulan dan kegiatan secara umum dilaksanaan secara daring. Konsep “Guru Penggerak” seolah menjadi sebuah program yang istimewa saat ini. Misalnya, menjadi salah satu prasyarat untuk menjadi calon kepala sekolah, semua guru didorong untuk mengikuti. Prosesnya seleksinya pun tidak tangung-tanggung, dibutuhkan keseriusan dan ketekunan. Selama sembilan bulan berjibaku dengan beragam penugasan. Padahal pada pagi hari sampai sore guru berkewajiban menunaikan tugasnya untuk mengajar. Selanjutnya, bagi guru yang ikut Program Guru Penggerak mulai berjibaku secara daring mengikuti pelatihan. Muncul pertanyaan? Efisien dan efektifikah proses tersebut? Kita ketahui bahwa seorang guru yang telah lolos sertifikasi  minimal mengampuh 24 jam pelajaran dalam sepekan. Jumlah siswanya pun minimal 162 siswa.  Proses evaluasi hasil belajar siswa  selama sembilan bulan mengikuti pelatihan dapatkah dilakukan dengan baik oleh guru tersebut? 

Di sisi lain, kegiatan pelatihan berskala nasional yang bermuara ke keterampilan guru dalam menggunakan IT tetap dilaksanakan. Proses ini pun tetap melibatkan alumni “Guru Penggerak” sebagai peserta. Proses ini memunculkan pertanyaan. Apakah perjalanan “Guru Penggerak” selama sembilan bulan belum cukup? Mengapa alumni “Guru Penggerak” masih diberikan pelatihan yang berbasis IT? Bukankah waktu sembilan bulan lebih dari cukup mengasah keterampilan mereka dalam mengenal dan menerapkan IT dalam proses penyelesaian tugas. Pengukuran keberhasilan alumni “Guru Penggerak” dalam proses pembelajaran di sekolah saat ini belum dapat dikatakan “berhasil” atau “belum” padahal program ini telah menghasilkan beberapa angkatan.  

Proses pengembangan dan keterampilan guru dalam bidang IT untuk pembelajaran tentu secara umum sudah akrab. Ketersediaan berbagai media dan jaringan internet menjadikan guru sudah tidak asing lagi dengan media pembelajaran yang berbasis IT. Bahkan guru dapat menguasai beberapa jenis teknologi pembelajaran yang kadang pula tidak dapat diterapkan semuanya dalam proses pembelajaran. Dalam perjalanannya pun penerapan IT dalam pembelajaran tidak akan maksimal diterapkan di kelas karena disesuaikan dengan kondisi sarana, daerah, latar belakang sosial, dan ekonomi siswa. Hakikat pembelajaran pada dasarnya begitu khusus. Misalnya prosedur dan tindakan yang diterapkan berhasil bagi seorang guru, mungkin gagal bagi guru lain. Beberapa guru mungkin mahir sekali dalam penggunaan IT, tetapi bagi siswa-siswa tertentu dan tujuan tertentu, penggunaan IT mungkin tidak cocok digunakan. Perpaduan dari setiap guru tentulah akan bervariasi sehingga apa yang cocok bagi seorang guru tidak selalu dapat diharapkan cocok bagi siswanya.

Mencermati kegiatan “Guru Penggerak” yang telah melahirkan beberapa angkatan, salah satu yang luput dalam proses pengembangan guru tersebut adalah keterampilan dalam menulis artikel ilmiah dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Pengenalan tentang kegiatan publikasi hamper tidak tersentuh dalam proses tersebut. Mereka hanya fokus dalam bentuk pengajaran dan tidak dikenalkan dengan dunia publikasi. Guru dalam proses pembelajaran akan berhadapan dengan berbagai jenis permasalahan. James dan Baker  menyatakan bahwa hal yang paling konsepsi yang patut diperhatikan adalah apa yang terjadi pada diri siswa sebagai konsekuensi dari prosedur-prosedur yang diterapkan di kelas. Inilah hal yang paling utama yang sangat menentukan. Hal yang perlu diingat adalah guru berada di kelas untuk mengubah perilaku siswanya. Oleh karena itu, pembelajaran yang efektif adalah kesanggupan menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan pada kemampuan dan persepsi siwa.

Untuk menjawab persolan guru yang dihadapi di dalam proses pembelajaran, langkah yang dapat dilakukan adalah penelitian. Penelitian yang berbasis pada tindakan, yang biasa dikenal dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Proses kegiatan penelitian dapat dilaksanakan secara berkolaborasi dengan teman sejawat. Dewasa ini, salah satu proses yang booming dan gencar dilakukan di  dunia adalah proses riset. Mengapa? Hanya dengan risetlah sebuah permasalahan yang dihadapi dapat ditemukan solusinya. Demikian pula dalam proses pembelajaran, kegiatan riset dapat melahirkan berbagai solusi, metode, inovasi, dan kreativitas. Guru akan terwujud menjadi lebih ilmiah dan tidak hanya difokuskan untuk mengajar di kelas tetapi berusaha menemukan atau mencipta solusi dari masalah yang mereka hadapi dalam pembelajaran. 

Proses pengembangan guru saat ini hanyalah difokuskan pada proses pembelajaran di kelas. Padahal dalam pengembangan keprofesian guru salah satu yang wajib dilakukan adalah publikasi. Proses publikasi guru di Indonesia melalui jurnal nasional berISSN dan terindeks SINTA masih sangat rendah, berada pada 0,001 persen. Bahkan mereka akan bingung ketika ditanyakan tentang artikel ilmiah dan jurnal ilmiah. 

Profesionalisme guru dalam menghasilkan artikel ilmiah di jurnal nasional berISSN dan terindeks SINTA mestilah diwujudkan dan dikembangkan. Guru sebagai ilmuwan harus dilahirkan pula untuk membangun budaya ilmiah dalam hal publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah seolah tidak pernah tersentuh dan menjadi hal langka yang sangat asing.  Padahal publikasi ilmiah merupaka kewajiban guru seperti dalam  Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Kewajiban publikasi ilmiah diwajibkan bagi guru yang akan naik ke golongan III.c.

Data kepangkatan guru di Dashboard GTK Kemendikbud  yaitu  guru untuk Golongan III  yakni 41% dan Golongan IV yakni 47% serta masih terdapat Golongan II yakni 13%.  Proses pengembangan karier guru secara umum stagnan di Golongan VIa dan IVb. Peningkatan karier ke Golongan IVc masih sangat rendah. Guru yang stagnan di golongan IVa dan IVb sampai bertahun-tahun sampai memasuki usia pensiun. 

Dalam Kompas dikemukakan data stagnansi guru dalam jenjang karier. Jumlah guru golongan IVb hanya 0,087%, golongan IVc 0,007%, dan IVd 0,002%. Paling banyak guru stagnan di golongan IVa yakni 21,84%. Penyebab utama stagnansi tersebut adalah guru tidak mampu melakukan publikasi ilmiah. Kondisi ini bagi PGRI pusat dan daerah harus menjadi perhatian khusus demi peningkatan karier dan profesionalisme guru. Pembinaan dan peningkatan karier guru dalam bidang publikasi mestilah diwujudkan seperti kewajiban dan profesionalisme  dosen di perguruan tinggi. 

Saat ini,  kewajiban publikasi bagi guru  seolah menjadi bukit yang terjal dan teramat susah untuk dilalui. Bahkan untuk mencapai jenjang jabatan ruang dan golongan harus melakukan dengan cara yang kurang tepat demi memenuhi kewajiban publikasi. 

Oleh karena itu,  PGRI yang sudah memasuki  usia 76 tahun  dan sudah cukup mapang, mestilah berkewajiban untuk melakukan sebuah terobosan yang dapat mewujudkan prefesionalisme guru dalam hal pubikasi ilmiah, khususnya publikasi artikel di jurnal nasional online (OJS)  yang berISSn dan terindeks SINTA. Jangan sampai guru merasa asing dan tidak paham dengan istilah-istilah tersebut  Mengapa hal ini diungkap karena dalam hal penerbitan buku, bahan ajar, atau sejenisnya mungkin guru sudah tidak asing lagi dengan proses tersebut.  

Publikasi artikel ilmiah mesti pula digeliatkan di profesi guru karena menjadi sebuah kewajiban. Guru yang geliat melaksanakan publikasi tentu dengan sendirinya akan melahirkan guru yang lebih saintifik, memiliki temuan, terobosan dan inovasi. Bahkan dengan publikasi di jurnal ilmiah yang saat ini sudah berbasis OJS karya guru dapat dibaca oleh berbagai kalangan di dunia. PGRI sebagai organisasi guru harus dijadikan sebagai wadah dan jeli mengisi kekosongan dan kebutuhan guru saat ini.  PGRI perlu memaksimalkan diri dalam bidang penelitian dan publikasi serta aktif membangun sinergi dengan dunia  akademik di  perguruan tinggi untuk  menyelesaikan masalah tersebut. Bukankah guru di Indoneia saat secara umum adalah sarjana dan bahkan sudah banyak magister dan doktor. Secara keilmuan dan teori dari segi pedagogi dan andragogi kita sudah hebat dan memang selama ini hanya  fokus dalam proses pengajaran. James dan Baker  menyatakan bahwa hal yang paling konsepsi yang patut diperhatikan adalah apa yang terjadi pada diri siswa sebagai konsekuensi dari prosedur-prosedur yang diterapkan di kelas. Inilah hal yang paling utama yang sangat menentukan. Hal yang perlu diingat adalah guru berada di kelas untuk mengubah perilaku siswanya. Oleh karena itu, pembelajaran yang efektif adalah kesanggupan menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan pada kemampuan dan persepsi siswa. Mahatma Gandhi mengungkapkan dalam NAI TALIM bahwa pendidikan akan sangat timpang jika hanya menyangkut intelek dan jasmani “tanpa kebangkitan jiwa”. Ukuran keberhasilan pendidikan bukan hanya “keberdikarian anak didik” tetapi lebih luas lagi adalah “segi kemanusiaan”.

Komentar