Guru dan Entering Behavior Peserta Didik Dalam Pembelajaran



Belajar adalah proses perubahan tingkah  laku berkat pengalaman  dan latihan.  Kegiatan belajar ditujukan untuk melakukan  perubahan  pada aspek kognitif, psikomotorik, dan sikap. Hasil yang dicapai tentu harus nyata dan dapat diaplikasikan pada anak didik baik  secara material-subtansial, struktural-fungsional, maupun secara behavioral.  Muncul suatu  pertanyaan  mendasar tentang  semua prestasi anak didik  yang dicapai apakah benar dihasilkan dari  proses pembelajaran yang dilakukan. Membicarakan  hal tersebut perlu dilakukan kajian dan observasi perilaku anak didik  saat mereka akan melaksanakan  kegiatan pembelajaran.  

Diharapkan,  kegiatan tersebut dapat membuat  perubahan setelah proses belajar dilalui peserta didik. Salah satu yang perlu menjadi fokus guru sebelum pembelajaran dimulai adalah karakteristik perilaku peserta didik saat mereka masuk kelas.  Tingkat dan tipe karakteristik kompetensi peserta didik saat akan mengikuti pembelajaran disebut dengan istilah Entering Behavior Peserta didik. Abin Syamsuddin mengemukakan bahwa  pada dasarnya entering behavior peserta didik  dapat diketahui dengan cara: 1) Secara tradisional seorang Guru dapat memulai dengan pertanyaan mengenai bahan yang pernah diberikan kepada peserta didik sebelumnya. 2) Secara inovatif seorang Guru dapat mengembangkan instrument evaluasi dan mengadakan pre-test sebelum mereka mulai mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Pemahaman tentang entering behavior anak didik ini memberikan beberapa informasi penting bagi Guru untuk mengambil langkah-langkah pembelajaran, antara lain: a) Guru dapat mengetahui individual peserta didik dalam kesiapannya (readiness), kematangan (maturation), serta tingkat penguasaan (mastery) pengetahuan dan keterampilan dasar untuk memahami materi yang baru. 

Dengan memahami kesiapan anak didik maka guru dapat memulai proses pembelajaran untuk materi berikutnya. b) Guru dapat menentukan metode, bahan, prosedur, dan alat bantu belajar-mengajar yang lebih tepat. c) Nilai pretest dapat dijadikan pedoman  untuk mengukur  perubahan peserta didik sebelum dan sesudah pembelajaran dilangsungkan. Hasil  antara nilai pretest dan posttest, baik secara kelompok maupun individual, merupakan indikator pencapaian yang nyata sebagai pengaruh dari proses belajar-mengajar.

Dalam pembelajaran yang dilaksanakan terdapat  beberapa dimensi  entering behavior yang perlu diperhatikan guru, yaitu,  1) Tentang batas dan ruang-lingkup materi knowledge yang telah dimiliki dan dikuasai peserta didik.  2) Materi pengetahuan peserta didik terutama kawasan pola-pola sambutan atau kemampuan yang telah dimiliki peserta didik. Dan 3) Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikofisik. Jadi, dalam perencanaan pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh guru perlu difokuskan pada: a. penguasaan materi. b. jenis kompetensi peserta didik bersangkutan. c. kesiapan/ kematangan peserta didik dalam menerima bahan ajar, dan  d. motivasi dan minat belajar peserta didik. Selain hal tersebut, yang paling penting adalah  guru dapat memahami dan mengetahui  secara awal tentang aspek-aspek pribadi peserta didik yang meliputi : kecerdasan dan bakat khusus, prestasi sejak permulaan sekolah, perkembangan jasmani dan kesehatannya, kecenderungan emosi dan karakternya, sikap dan minat belajar, cita-cita, kebiasaan belajar dan bekerja, hobi dan penggunaan waktu senggang, hubungan sosial di sekolah dan di rumah, latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal,  sifat-sifat khusus dan kesulitan anak didik. Di sini perlu ketekunan dan kesabaran dari seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Kegiatan memahami kepribadian peserta didik betul-betul harus dilakukan dengan kesadaran, keihklasan dan penuh tanggung jawab.

Pola-pola Belajar Peserta didik

Dalam proses pembelajaran kita diperkenalkan oleh Gagne mengenai pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe. Adapun delapan tipe dikemukakan  sebagai berikut : Signal learning (belajar isyarat). Tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary (tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini guru penting untuk terus memberikan stimulus tertentu secara berulang kali secara bersamaan. 2.  Stimulus-Respon learning. Bila tipe di atas dapat digolongkan ialah jenis classical condition, maka tipe belajar yang kedua  ini termasuk ke dalam instrumental conditioning (Kimble-1961) atau belajar dengan trial and Error. Gagne menjelaskan bahwa proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini ialah faktor inforcement.  3.  Chaining (mempertautkan). 4.  Verbal Associaon. Tipe belajar 3 dan 4 ini setaraf, yaitu belajar-mengajar menghubungkan S-R yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan untuk tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan dan reinforcement tetap penting untukj terus dilakukan oleh guru. 5. Discrimination learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini peserta didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama bagi berlangsung proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Concept learning atau belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya. Rule learning, atau belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sistesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai rule: prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah dan sebagainya.  Problem Solving yakni belajar memecahkan masalah. Pada peserta didik belajar merumuskan dan memecahkan masalah, merespon terhadap rangsangan yang menggambarkan atau situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Guru dalam hal ini hanya perlu mengarahkan dan mengontrol kegiatan peserta didik pada saat pembelajaran berlangsung.

Abstraksi 
Di atas telah diungkapkan bahwa Entering Behavior merupakan gambaran awal keadaan pengetahuan dan keterampilan peserta didik sebelum mengikuti proses pembelajaran. Dalam hal ini Entering behavior berhubungan erat penentuan tujuan pembelajaran. Melalui entering behavior, guru dapat menentukan substansi yang akan diperluas dan diperdalam sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Macam-macam entering behavior diantaranya adalah learning sets, learning ability, dan learning style. Learning sets ada dua jenis, yaitu learning to learn dan learning structure. Kegunaan entering behavior adalah sebagai penentu penetapan pemberian materi agar indikator pencapaian dapat terealisasi, bisa juga sebagai penambahan suplemen yang lebih luas. Entering behavior dapat diketahui melalui pemberian tes pada awal pelaksanaan pembelajaran, atau yang lebih dikenal dengan istilah pre tes. Perlu dipahami bahwa dalam penentuan entering behavior sekurang-kurangnya guru dapat mempertimbangkan empat konsep, yaitu kesiapan, kematangan, perbedaan individu, dan kepribadian peserta didik.

Jadi, Sebelum guru melaksanakan suatu proses pembelajaran di kelas, akan lebih baik bila para guru mengetahui seberapa jauh pengetahuan maupun keterampilan yang dimiliki peserta didik. Hal ini dapat dijadikan pemetaan maupun keputusan dalam menulis tujuan pembelajaran yang nantinya benar-benar harus dikuasai oleh peserta didik. Hal pokok yang akan diberikan guru tidak akan sia-sia disampaikan apabila isi materi tersebut benar-benar sangat dibutuhkan peserta didik dalam proses pembelajaran. Namun, semuanya jadi tidak berarti lagi jika motivasi yang diberikan kepada peserta didik tidak bisa diterima karena tidak sesuai dengan kebutuhan maupun tingkat kecerdasan peserta didik. Baiknya, Semua pengetahuan dan keterampilan peserta didik sebelum mengikuti proses pembelajaran bisa diketahui melalui entering behavior dengan menggunakan tes awal. Jika semua pengetahuan dan ketrampilan sudah diketahui, maka guru akan menfokuskan pada substansi yang sangat dibutuhkan dan benar-benar belum dikuasai peserta didik sesuai tujuan pembelajaran khusus. Jika ternyata apa yang diberikan masih belum mampu dikuasai peserta didik, maka guru dapat memperpanjang waktu, atau menurunkan standar sesuai kemampuan peserta didik. Jadi, peranan entering behavior sangat penting dalam pembelajaran, sehingga apa yang akan disampaikan para guru bisa dikatakan tepat sasaran dan tepat waktu (efektif efisien). 

Komentar

Posting Komentar