Proses pembelajaran pada
hakikatnya bertujuan untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia yang
berahlak mulia, bermoral, dan dapat berkarya baik untuk dirinya maupun untuk
orang lain. Demikian pula dalam pembelajaran
bahasa Indonesia memiliki tujuan yang mendasar yakni, menjadikan siswa terampil
berbahasa baik lisan maupun tulisan. Kedua keterampilan tersebut masing-masing
mencakup keterampilan menyimak, mewicara, membaca, dan menulis.
Dalam
pembelajaran bahasa Indonesia tujuan mendasar tersebut masih diabaikan bahkan
memang dilupakan. Mengapa hal tersebut diungkap karena realitas yang ada
mengenai proses pembelajaran bahasa
Indonesia yang masih mengutamakan nilai yang tinggi memang tidak bisa
dipungkiri. Sering kita mendengar suatu pernyataan bahwa masih banyak siswa
yang tidak bisa terampil berbahasa, padahal mereka sudah belajar bahasa
Indonesia selama dua belas tahun, mulai dari SD, SMP, dan SMA bahkan lebih ironis mahasiswa pun banyak yang
tidak terampil berbahasa baik lisan maupun tulisan. Misalnya, mereka masih
mengalami kesulitan ketika akan tampil di depan umum ketika menjadi seorang
moderator atau pembawa acara, kesulitan dalam memperkenalkan diri di depan
umum, belum mampu menulis tentang surat keterangan sakit, dan kesulitan dalam
menulis surat lamaran. Hal-hal tersebut hanyalah sebagian dari masalah yang
ada.
Menyikapi
hal tersebut muncul suatu pertanyaan yang mendasar, mengapa hal tersebut bisa
terjadi dan apakah yang perlu disikapi mengenai fenomena tersebut? Tentu untuk
membahas masalah tersebut banyak faktor yang perlu diperhatikan. Misalnya,
faktor sarana dan prasana, guru, perpustakaan, metode mengajar, dan lain
sebagainya.
Hasil
pembelajaran bahasa Indonesia yang nampak selama ini hanyalah ditekankan pada
hasil yang berupa nilai-nilai. Jika, nilai yang didapat oleh para siswa tinggi
dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, sudah dinyatakan proses
pembelajaran tersebut sudah dianggap berhasil. Sebaliknya, apabila nilai yang
diraih oleh para siswa tidak memenuhi standar nilai yang ditetapkan, proses
pembelajaran yang sudah berlangsung dianggap tidak berhasil. Apabila hal ini
terjadi, maka untuk menjadikan para siswa kita terampil berkomunikasi baik
lisan maupun tulisan memang susah untuk dicapai.
Hal
yang diungkap di atas tentu tidak berarti tidak tepat, tetapi yang perlu
diingat dan disadari adalah hakikat pembelajaran bahasa Indonesia itu sendiri,
yaitu menjadikan siswa untuk terampil berkomunikasi secara lisan dan tulisan.
Jika hanya ditekankan pada nilai-nilai yang diraih oleh siswa dan mengabaikan
keterampilan yang seharusnya dikuasai oleh siswa, tentu hal tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan hakikat
pembelajaran bahasa Indonesia yakni
menelurkan siswa yang mampu berkomunikasi dengan komunikatif dan efektif baik
lisan maupun tulisan.
Olehnya
itu, hal yang harus disadari oleh para pengajar bahasa Indonesia adalah bahwa
dalam mengajarkan bahasa Indonesia tidak
hanya difokuskan untuk meraih nilai yang tinggi, tetapi bagaimana menjadikan
para siswa untuk terampil berkomunikasi mengungkapkan ide, gagasan, dan
perasaan mereka baik lisan maupun tulisan di dalam kehidupan masyarakats.
Nilai-nilai yang dicapai sebaiknya hanyalah dijadikan sebagai pendukung dari
keterampilan berbahasa yang dikuasai. Apabila hal ini sudah disadari oleh para
pengajar bahasa Indonesia tentu semua pihak akan bangga dengan hasil yang
dicapai yang dapat menjadikan para siswa kita terampil berkomunikasi baik lisan
maupun tulisan.
Pencapaian
siswa yang terampil berkomunikasi secara efektif baik lisan maupun tulisan
tentu juga bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan proses yang berkesinambungan
dari semua pihak, bukan hanya dari para guru bahasa Indonesia saja. Tentu
dibutuhkan suatu keseriusan yang kuat dalam mencapai hal tersebut.
Selain hal di atas, terdapat pula suatu pernyataan yang cukup tajam mengenai hasil pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini pernah penulis dengar dari suatu pertemuan yang sifatnya formal. Pernyatan itu adalah '' mengapa nilai para siswa yang dicapai dalam proses ujian bahasa Indonesia sangat rendah, dibandingkan dengan nilai ujian bahasa Inggris. Padahal bahasa Indonesia adalah bahasa sehari-hari kita, sedangkan bahasa Inggris merupakan bahasa asing''. Pernyataan ini tentu kurang tepat. Mengapa dikatakan kurang tepat karena terjadi proses pembandingan antara mata pelajaran. Selain itu, dari pernyataan tersebut tersirat pula makna bahwa pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran yang mudah sedangkan bahasa Inggris pelajaran sulit tapi nilai yang dicapai siswa tinggi.
Anggapan dan sikap seperti
itu tentu perlu diubah karena menggambarkan suatu sikap yang tidak positif
terhadap bahasa Indonesia. Jangan sampai terdapat anggapan bahwa tanpa belajar
bahasa Indonesia kita secara otodidak dapat pintar dan menguasainya. Pandangan
dan anggapan ini hanyalah pandangan yang sifatnya luar, tidak mendalam, dan
tidak ilmiah, serta tidak memahami lagi bagaimana sebenarnya pembelajaran
bahasa Indonesia tersebut. Yang harus
disadari oleh semua pihak adalah bahwa tiap-tiap pelajaran memiliki kemudahan
dan kesulitan masing-masing. Demikian pula, mata pelajaran bahasa Indonesia
tentu memiliki kemudahan dan kesulitan,
hal ini berlaku pula pada mata pelajaran lainnya.
Komentar
Posting Komentar