Umar bin Khattab pernah berwasiat kepada
rakyatnya, “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang
pengecut menjadi jujur dan pemberani.” Wasiat Umar bin Khattab ini menunjukkan
bahwa sastra memiliki peran penting dalam pengembangan karakter anak. Dalam
bacaan sastra yang imajinatif sangat berarti dalam mengajarkan dan memberikan
tuntunan moralitas. Di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang dapat membentuk
kepribadian anak-anak.
Perlu disadari bahwa sekarang adalah era kesejagatan yang dapat memunculkan perilaku yang mengesampingkan sifat-sifat kemanusiaan yang etis dan estetis. Dikaitkan sebagai manusia yang berpekerti dan berahklak mulia, dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar terdapat budaya yang begitu mengakar yakni siri’ na pacce. Dalam bahasa Bugis-Makassar siri’ berarti rasa malu. Siri’ sebagai suatu sistem nilai sosiokultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Adapun pacce atau pesse sebagai kepekaan diri (sense), rasa solidaritas, rasa perikemanusiaan yang menuntut seseorang untuk berempati atau memiliki kepedulian sosial. Dari budaya pacce atau pesse-lah melahirkan nilai dan konsep sipakatau (saling memanusiakan), sipakala’bere’ (saling menghargai) dan sipakainga’ (saling mengingatkan).
Budaya siri na pacce seperti makna yang diungkap tersebut merupakan suatu nilai pesan moral yang diwariskan oleh para leluhur yang tentunya harus betul-betul dihayati akan konsep dan ajaran luhurnya. Pergeseran moralitas karena sudah tidak ada rasa malu (siri’) dan sikap kepedulian (pesse) terhadap sesama. Misalnya, peserta didik yang menyontek atau melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian, tawuran antarsesama pelajar dan yang paling menyedihkan banyak peserta didik yang terjerumus ke dalam komplotan geng motor yang sering bertindak anarkis. Tentu ini dilakukan karena mereka sudah tidak memiliki tanggung jawab, sikap saling menghargai, dan perasaan malu terhadap Tuhan, dirinya, dan kepada orang lain.
Ini merupakan
pertanda bahwa ahlak, kejujuran, dan martabat sudah mulai tergerus.
Mungkinkah moral mulia telah bergeser
dalam kehidupan para peserta didik akibat arus globalisasi dan sikap
materialistik? Harus disadari bahwa peserta didik yang masih berada pada masa
peralihan, para peserta didik perlu
mendapat asupan ”nilai moral dan keteladanan” bagi pertumbuhan jiwanya. Salah
satu pengajaran yang dapat disisipi nilai tersebut adalah pembelajaran pantun. Mengapa harus
teks pantun yang dapat dijadikan sebagai media? Terdapat beberapa alasan, yaitu
pantun merupakan wujud refleksi masyarakat terhadap ketimpangan yang terjadi, pantun
memiliki diksi yang sarat akan makna, dan pantun sangat erat dengan hasil pengimajian perasaan.
Mantap skali pak...
BalasHapus